Rabu, 28 April 2010

Pembangunan Wilayah Perbatasan Indonesia dalam Perspektif Keamanan Manusia

Pembangunan Wilayah Perbatasan Indonesia dalam Perspektif Keamanan Manusia

Pendahuluan
Secara filosofis, keberadaan pemerintah adalah untuk memberikan pelayanan kepada rakyat melalui berbagai aktivitasnya. Penyelenggaraan pemerintahan menyangkut penyelenggaraan administrasi pemerintahan sehari-hari (day to day administrator) secara luas, pemberian pelayanan kepada masyrakat luas (public services) serta pembangunan berbagai infrastruktur maupuan fasilitas yang dibutuhkan oleh masyarakat. Penyelenggaraan pemerintahan harus mampu mengatasi persoalan-persoalan riil yang dihadapi masyarakat, setidaknya memberikan fasilitasi secara maksimal sehingga masyarakat mampu mengatasi persoalan-persoalan yang dihadapinya.

Manajemen atau pengelolaan pemerintahan pada saat ini sedang berada pada masa transisi. Beberapa penanda yang dapat diamati adalah adanya pergeseran paradigma pengelolaan pemerintahan dari yang berbasis pada kekuasaan ke arah manajemen publik yang berdasarkan pada akuntabilitas (accountability) dan pemenuhan kepuasan penggunan layanan (customer satisfaction). Peran pemerintah sebagai penyelenggara seluruh kegiatan (acting or executing) berubah menuju ke peran sebagai pengarah (regulating) dalam rangka pemberdayaan (empowering) masyarakat. Selain itu, pengelolaan pemerintahan yang berstruktur dan bebudaya tertutup bergeser menuju ke arah pengelolaan yang tebuka (transparency).

Pengelolaan pemerintahan sebelumnya yang bekarakteristik sentralistik bergeser ke arah lebih desentralistik, serta pengelolaan pemerintahan yang sebelumnya berciri bad governance bergeser ke arah pengelolaan pemerintahan yang berciri good governance dn clean governance.
Penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia tidak terlepas dari perubahan-perubahan yang terjadi, baik didorong oleh kekuatan internal maupun eksternal. Pada tataran global, terjadi transformasi dalam bidang politik, ekonomi, batas-batas teritorial negara, hubungan antara negara, maupun budaya global yang mengarah pada tebentuknya model tatanan dunia baru (the new world order). Pada tataran internal, terjadi pergeseran kesadaran politik masyarakat dari yang sebelumnya bersikap skeptis menuju ke arah peningkatan peran aktif dalam proses politik maupun dalam perumusan kebijakan publik, serta keterbatasan kemampuan pemerintah untuk menangani berbagai permasalahan yang muncul dan berkembang secara cepat dan dalam skala yang luas.

Indonesia sebagai suatu negara-bangsa sudah diakui kedaulatannya secara internal maupun eksternal. Secara internal, kedaulatan suatu negara dapat dinyatakan secara formal dengan keberadaan wilayah/teritori beserta dengan penduduk dan pemerintahan di dalamnya. Secara eksternal, kedaulatan suatu negara ditunjukkan dengan adanya pengakuan (recognition) dari negara-negara lain. Secara demikian, wilayah perbatasan negara mempunyai peranan dan nilai strategis dalam mendukung tegaknya kedaulatan negara, sehingga pemerintah Indonesia wajib memperhatikan secara sungguh-sungguh kesejahteraan dan keamanan nasional. Hal inilah yang diamanatkan Pembukaan UUD 1945 terhadap pemerintah negara, mendorong peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat sekitar, dan memperkuat kondisi ketahanan masyarakat dalam pertahanan negara. Wilayah perbatasan perlu mendapatkan perhatian karena kondisi tersebut akan mendukung keamanan nasional dalam kerangka NKRI.

Beberapa permasalahan yang dihadapi daerah perbatasan darat negara antara lain: Pertama, belum tuntasnya kesepakatan perbatasan antar negara, kerusakan tanda-tanda fisik perbatasan dan belum tersosialisasinya secara baik batas negara kepada aparat pemerintah dan masyarakat. Kedua, kesenjangan kesejahteraan masyarakat, baik ekonomi maupun sosial. Ketiga, luas dan jauhnya wilayah perbatasan dari pusat pemerintahan Propinsi dan Kabupaten; keterbatasan aksesbilitas yang mengakibatkan sulitnya dilakukan pembinaan, pengawasan dan pengamanan; Keempat, penyebaran penduduk yang tidak merata dengan kualitas SDM yang rendah. Kondisi ini diperparah dengan eksploitasi sumberdaya alam yang tidak terkendali khususnya hutan secara legal maupun ilegal yang mengakibatkan rusaknya lingkungan hidup. Lemahnya penegakan hukum serta kesenjangan ekonomi antar wilayah di negara yang berbatasan mendorong terjadinya kegiatan ilegal di daerah perbatasan darat seperti perdagangan ilegal, lintas batas ilegal, penambangan ilegal dan penebangan hutan ilegal.

Wilayah daratan Indonesia berbatasan langsung dengan negara-negara Malaysia, Papua Nugini (PNG) dan Timor Leste. Kawasan perbatasan daratan tersebut berada di Kalimantan, Papua dan Timor. Terdapat empat propinsi perbatasan dan 15 kabupaten/kota yang masing-masing wilayah memiliki karakteristik kawasan perbatasan berbeda-beda. Demikian pula negara tetangga yang berbatasan memiliki karakteristik yang berbeda dilihat dari segi kondisi geografis, demografis, sosial, politik ekonomi dan budaya. Sedangkan wilayah laut Indonesia berbatasan dengan 10 negara, yaitu India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina, Palau, Papua Nugini (PNG), Australia, dan Timor Leste.

Kawasan-kawasan perbatasan laut pada umumnya ditandai oleh pulau-pulau terluar yang jumlahnya 92 pulau, hingga kini beberapa diantaranya masih perlu penataan dan pengelolaan yang lebih intensif karena ada kecenderungan terjadinya berbagai permasalahan dengan negara tetangga. Sebagian besar daerah perbatasan di Indonesia masih merupakan daerah tertinggal dengan sarana dan prasarana sosial dan ekonomi serta pertahanan dan keamanan yang masih sangat terbatas.

Pandangan dimasa lalu bahwa kawasan perbatasan merupakan kawasan yang perlu diawasi secara ketat karena menjadi tempat persembunyian para pemberontak telah mengakibatkan kawasan perbatasan di beberapa daerah menjadi daerah yang kurang tersentuh oleh dinamika pembangunan. Daerah perbatasan pada umumnya miskin dan akibatnya banyak yang berorientasi kepada negara tetangga. Di lain pihak, negara tetangga seperti Malaysia, telah membangun pusat-pusat pertumbuhan di sepanjang koridor perbatasannya melalui berbagai kegiatan ekonomi dan perdagangan yang telah memberikan keuntungan bagi pemerintah maupun masyarakatnya.

Berdasarkan data Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal (2005), terdapat 3 (tiga) kabupaten perbatasan di Kalimantan Barat (Kalbar), 3 (tiga) kabupaten perbatasan di Kalimantan Timur (Kaltim), 3 (tiga) kabupaten perbatasan di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan 4 (empat) kabupaten di perbatasan Papua merupakan daerah yang dikategorikan tertinggal dibandingkan daerah lain di Indonesia. Untuk memperbaiki kondisi tersebut, perlu dilakukan upaya dan langkah konkrit untuk memajukan daerah perbatasan darat terutama dari aspek kesejahteraan dan keamanan.

Beberapa tantangan yang dihadapi di wilayah perbatasan antara lain jumlah penduduk yang kurang dan penyebaran yang tidak merata serta keterbatasan infrastruktur. Tingkat pendidikan dan kesehatan serta kualitas sumber daya manusia (SDM) masih relatif rendah dan industri pengolahan belum berkembang, sehingga kegiatan perekonomian masih tergantung pada produk mentah. Demikian pula dengan pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang kurang terkendali serta lemahnya sistem informasi dan komunikasi.

Ditinjau dari perspektif keamanan, kondisi daerah perbatasan wilayah Indonesia saat ini berada pada tahap mengkhawatirkan. Hal tersebut ditandai dengan timbulnya berbagai masalah perbatasan seperti kasus Blok Ambalat, kasus Pulau Bidadari dan permasalahan pelintas batas negara. Daerah perbatasan darat merupakan daerah yang terpencil secara geografis dan sosial ekonomi sehingga masyarakat menjadi seolah-olah terpinggirkan. Kondisi ini menjadikan wilayah perbatasan darat memiliki potensi kerawanan aspek internal maupun eksternal. Dari aspek internal masyarakat perbatasan darat yang terpencil, miskin dan terpinggirkan akan memiliki kesadaran nasional (nasionalisme) yang rendah serta tidak dapat diandalkan sebagai pilar keamanan, yang akhirnya dapat membahayakan eksistensi negara. Dari aspek eksternal, wilayah perbatasan darat merupakan wilayah terbuka bagi pihak luar untuk masuk ke wilayah NKRI maupun bagi warga negara Indonesia untuk keluar, sehingga apabila wilayah perbatasan darat tidak diamankan secara baik, dapat membahayakan kedaulatan NKRI.

Keamanan wilayah perbatasan darat mulai menjadi perhatian pemerintah yang wilayah negaranya berbatasan langsung dengan negara lain. Kesadaran akan adanya persepsi wilayah perbatasan darat antarnegara telah mendorong perumus kebijakan untuk mengembangkan kajian penataan wilayah perbatasan dilengkapi dengan rumusan sistem keamanannya. Hal ini menjadi isu strategis karena penataan wilayah perbatasan terkait dengan proses pembangunan bangsa (nation building) terhadap munculnya potensi konflik internal dalam negara maupun dengan negara tetangga (neighbourhood countries). Penanganan perbatasan negara, pada hakekatnya merupakan bagian dari upaya perwujudan ruang wilayah nusantara sebagai satu kesatuan geografi, politik, ekonomi, sosial budaya serta pertahanan dan keamanan (Sabarno, 2001) .

Paradigma wilayah perbatasan sebagai beranda depan negara belum diwujudkan secara optimal, sehingga berdampak kurang menguntungkan bagi Indonesia. Keadaan ini mengesankan bahwa komitmen pemerintah pusat maupun daerah dalam membangun wilayah perbatasan masih rendah. Disisi lain wilayah perbatasan memiliki potensi strategis ditinjau dari aspek kesejahteraan maupun keamanan.

Pengembangan wilayah perbatasan dalam rangka mewujudkan wilayah perbatasan darat sebagai beranda depan negara yang berorientasi pada aspek kesejahteraan (prosperity) dan keamanan (security) telah dilakukan oleh berbagai dinas dan instansi, namun sifatnya masih parsial dan belum komprehensif sebagai suatu kebijakan. Saat ini pengembangan wilayah perbatasan darat perlu dipercepat karena masalah perbatasan darat dari waktu ke waktu semakin komplek.

Selama ini, pendekatan kesejahteraan melalui paradigma pertumbuhan ekonomi sangat mewarnai konsep pengelolaan kawasan perbatasan, khususnya perbatasan antarnegara. Padahal, pada praktik di lapangan, kawasan perbatasan juga menghadapi permasalahan keamanan, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Kasus-kasus lintas batas ilegal, pencurian kayu ilegal, pertambangan ilegal, kejahatan transnasional (transnational crimes) dan migrasi lintas batas menjadi contoh kasus-kasus keamanan yang terjadi hampir di seluruh kawasan perbatasan.

Berangkat dari kondisi inilah, maka integrasi antara pendekatan kesejahteraan dan keamanan menjadi penting. Hasil-hasil studi kawasan perbatasan yang pernah dilakukan oleh Bappenas, Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah serta Departemen Dalam Negeri umumnya menitikberatkan pada upaya ekonomi melalui pembangunan kawasan agar cepat tumbuh untuk mendorong kegiatan ekonomi di kawasan perbatasan. Berbeda dengan studi-studi tersebut, studi yang dilakukan Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal juga memperhatikan dimensi keamanan dalam pengelolaan kawasan perbatasan.

Dengan demikian, salah satu wilayah yang memiliki peran dan kedudukan strategis dalam rangka mempertahankan eksistensi bangsa dan negara adalah wilayah perbatasan. Hal tersebut disebabkan wilayah perbatasan merupakan ruang untuk mengintip atau melihat bagaimana kondisi internal suatu negara atau bangsa. Dari wilayah perbatasan dapat dilihat secara langsung bagaimana kondisi fisik wilayah maupun kondisi kehidupan masyarakat yang ada di dalam wilayah suatu negara. Wilayah perbatasan merupakan pintu masuk dan keluar arus sumber daya (barang dan jasa, serta manusia) antar negara. Sebagai pintu masuk dan keluar sumberdaya antar negara maka wilayah perbatasan bisa memperoleh dampak positif maupun negatif dari arus keluar masuk sumber daya ekonomi tersebut. Sebagai dampak dari kedudukannya sebagai pintu masuk dan keluar arus sumber daya ekonomi antara negara, maka wilayah perbatasan rawan terhadap infiltrasi asing, perdagangan illegal atau penyelundupan (illegal trading), pencurian kayu (illegal logging), perdagangan manusia (traficking), tempat persembunyian kelompok separatis, dan sebagainya. Wilayah perbatasan merupakan benteng utama dan terakhir dari eksistensi bangsa dari aspek wilayah sesuai konsep wawasan nusantara. Hal ini karena pendudukan terhadap wilayah negara dimulai dari wilayah perbatasan.

Di samping itu, terjadi pula perubahan-perubahan sosial politik di tingkat masyarakat dan pemerintahan daerah sebagai akibat dikeluarkanya suatu kebijakan publik tertentu, terjadinya dinamika sosial ekonomi masyarakat di wilayah-wilayah perbatasan, terjadinya bencana alam dalam skala yang besar, dan berbagai pekembangan lainnya. Penyelenggara pemerintahan tidak dapat menutup diri dari perkembangan yang terjadi, dan sebaliknya harus menyikapi bebagai perubahan tersebut secara cepat dan bijaksana dalam rangka merumuskan kebijakan yang tepat. Dalam rangka itu dirasakan perlu dilakukan kajian secara mendalam dan kritis berbagai masalah strategis dalam penyelenggaraan pemerintahan, khususnya yang tekait dengan pembangunan wilayah perbatasan Indonesia dalam perspektif baru keamanan nasional.

Keamanan Nasional
Keamanan nasional merupakan kombinasi yang kompleks dari tujuan-tujuan militer, persepsi ancaman terhadap keamanan, berbagai pengertian yang berkaitan dengan ancaman, yang kesemuanya ini menghasilkan seperangkat nilai-nilai, prinsip-prinsip, dan institusi-institusi, dimana kepentingan nasional dan kepentingan keamanan nasional dapat bertemu (Pearson, 1994:276). National Security atau keamanan nasional menurut buku International Relations: A Political Dictionary, (Ziring, 1995:205) bermakna the allocation of resources for the production, deploymnet, and employment of what we may call the coercive facilities which a nation uses in pursuing its interes.

Dalam mengkaji keamanan nasional maka terdapat banyak perspektif tentang cakupan objek keamanan nasional yang secara garis besar dapat di lihat dari dua paradigma, yaitu realis dan pluralis. Paradigma realis meyakini bahwa negara (state) merupakan aktor penting dalam pergaulan internasional. Paradigma realis terhadap keamanan nasional telah menjadi sebuah panduan teoritis bagi aksi reaksi negara-negara sejak perjanjian Westphalia tahun 1648 tentang negara bangsa dibentuk. Tokoh realis klasik seperti Hobbes, Machiavelli, Rousseau hingga E.H. Carr dan Hans Morgenthau percaya bahwa implikasi dari kedaulatan negara adalah negara saling memperjuangkan kepentingan nasionalnya dan hubungan antar negara merupakan bentuk struggle for power. Selain realis klasik terdapat juga paradigma neo-realis sebagai sebuah pemikiran realis kontemporer (Baylis & Smith, 2005:302), dimana asumsi-asumsi yang mereka kemukakan antara lain:

1.
Sistem internasional bersifat anarki, yaitu tidak adaya otoritas terpusat yang mampu mengendalikan perilaku negara-negara di dunia, dan bahwa dunia adalah ajang pertarungan.
2.
Negara mempertahankan kedaulatannya dengan jalan mengembangkan kapabilitas militer untuk pertahanan dirinya dan memperbesar power-nya.
3.
Hubungan antar negara berada pada posisi siap siaga dikarenakan rendahnya tingkat kepercayaan mereka terhadap negara lain. Saling kecurigaan yang manandai hubungan ini menyebabkan negara-negara hanya memiliki satu pilihan strategis, yakni memperkuat diri dengan senjata (kekuatan militer).
4.
Negara menjadi satu-satunya institusi yang bertanggung jawab atas keamanan nasional. Kecenderungan ini disebabkan oleh sejarah pembentukan negara-bangsa, penempatan kewilayahan (territory) sebagai pijakan kedaulatan, dan militer sebagai kekuatan utama.

Permasalahan penting yang kemudian muncul dari paradigma realis tentang keamanan nasional lebih banyak bukan disebabkan oleh orientasi mereka pada ancaman militer yang berasal dari luar, melainkan lebih pada kedudukan sentral negara dalam seluruh pewacanaan masalah keamanan nasional dan penggunaan kekuatan bersenjata sebagai instrumen paling penting untuk menjawab masalah keamanan nasional. Berbagai perang besar yang terjadi diantara negara-negara seperti Perang Dunia I (1914-1918), Perang Dunia II (1939-1945), invasi militer dari satu negara terhadap negara lain, dan berlangsungnya Perang Dingin (1945-1990) sebagai puncak eskalasi perlombaan senjata nuklir. Berbagai kejadian ini merupakan sebuah pembuktian yang nyata bagaimana negara-negara di dunia percaya bahwa peningkatan kekuatan pertahanan militer menjadi satu-satunya cara paling efektif untuk melindungi keamanan nasional. Namun perhatian terhadap keamanan nasional berdasar paradigma realis ternyata mengalami pergeseran terutama ditandai dengan berakhirnya Perang Dingin, dimana pada masa setelah Perang Dingin negara-negara di dunia tidak banyak lagi menggunakan kapabilitas militernya sebagai kekuatan utama penjaga keamanan nasionalnya. Ancaman yang datang lebih banyak bukan berasal dari aktor negara lewat agresi militernya. Maka kemudian keamanan nasional yang dianut kaum realis ini sering disebut sebagai “konsep keamanan nasional tradisional”. Alternatif bagi konsep keamanan tradisional pasca Perang Dingin salah satunya banyak dikemukanan oleh kaum pluralis.

Paradigma pluralis (termasuk di dalamnya liberalis dan konstruktivis) muncul sebagai reaksi terhadap dominasi paradigma realis. Pluralis meyakini bahwa negara bukan sebagai satu-satunya aktor dalam hubungan negara, bahwa aktor non-negara juga berperan sentral dalam pergaulan internasional yang secara otomatis membawa implikasi pada konsep keamanan nasional. Bagi paradigma ini, negara seharusnya tidak menjadi pusat analisis dari keamanan nasional, hal ini dikarenakan mereka bukan hanya sebagai aktor penjaga keamanan nasional tetapi juga menjadi bagian dari penyebab ketidakamanan nasional dan ketidakamanan dalam sistem internasional.

Berdasar pada pandangan itulah maka perhatian tentang keamanan nasional harus difokuskan pada individu ketimbang pada negara saja. Menurut Booth dan Wyn Jones, keamanan nasional paling tepat dikaji melalui konsep emansipasi manusia (human emancipations), yaitu kebebasan manusia sebagai individu, kelompok dari ancaman sosial, fisik, ekonomi, politik dan halangan-halangan lain terhadap hak-hak mereka (Baylis & Smith, 2005:313). Konsep keamanan kontemporer juga terkait dengan arus globalisasi yang tidak lagi memandang batas-batas negara sebagai halangan bagi masuknya berbagai ancaman terhadap keamanan nasional. Implikasi dari globalisasi adalah perhatian yang cukup besar pada isu-isu ketidakpersamaan global (global inequality), kemiskinan, permasalahan lingkungan, hak asasi manusia, hak-hak kaum minoritas, demokrasi, serta keamanan individu dan sosial. Menurut Ian Clark apa yang dibawa oleh globalisasi dalam memandang keamanan adalah perhatian terhadap pembangunan sistemik yang menyebar tanpa memerlukan peran negara, sehingga konsep keamanan perlu direkonseptualisasikan pada lingkup individu dan sosial sebagai alternatif dari negara, sementara negara tetap diperlukan guna menjaga identitas sosial dan hak-hak asasi manusia yang hidup didalamnya (Clark, 1999:125).

Pendapat lain mengenai keamanan kontemporer menurut Buzan (1991: 19-20) dapat dibagi menjadi lima dimensi, yaitu:
a. Militer. Munculnya kapabilitas militer dari suatu negara baik konvensional maupun non-konvensional, dalam strategi meyerang atau bertahan, persepsi ancaman militer dari negara terhadap negara lain.
b. Politik. Perhatian terhadap permasalahan stabilitas insitusi-institusi negara, proses politik, sistem pemerintahan, dan ideologi sebagai legitimasi aktivitas mereka.
c. Ekonomi. Masalah akses terhadap sumber daya-sumber daya, finansial, dan pasar guna mempertahankan kemakmuran dan kekuatan negara.
d. Sosial. Perhatian terhadap keberlanjutan dan penerimaan masyarakat sosial terhadap perubahan-perubahan sosial, termasuk pola-pola bahasa, budaya, kebiasaan, dan identitas nasional, dimana perubahan ini akan berdampak pada perilaku negara tersebut terutama dalam dunia internasional.
e. Lingkungan. Memperhatikan masalah pemeliharaan lingkungan hidup sebagai sebuah sistem dimana manusia sangat tergantung kepadanya.
Seiring dengan konsep baru tentang keamanan maka bergeser pula pandangan tentang ancaman terhadap keamanan, terutama keamanan nasional. Ancaman utama terhadap keamanan bukan lagi apa yang dipercaya oleh kaum realis datang dari kekuatan militer dari negara-negara, tetapi ancaman yang sifatnya non-militer maupun militer yang berasal dari aktor non negara. Seperti yang dinyatakan oleh Buzan (1991: 5) Threats and vulneralibilities can arise in many different area, military and non-military, but to count as security issue, they have to meet strictly defined criteria that distinguish them from the normal run of the merely political. They have to be staged as existential threats to a referent object by securitizing actor who thereby generate endorsement of emergency measures beyond rules that whould otherwise bind.
Buzan (1991: 116-133) kemudian membuat lima kategori ancaman berdasarkan sektornya terhadap keamanan nasional, yaitu:
a. Ancaman militer. Secara tradisional ancaman militer merupakan prioritas tertinggi yang menjadi perhatian dari keamanan nasional, hal ini dikarenakan ancaman militer dengan menggunakan kekuatan bersenjata yang dapat memusnahkan apa yang telah di capai oleh manusia. Ancaman militer juga tidak hanya bersifat langsung, tetapi juga dapat tidak langsung ditujukan kepada negara itu, tetapi lebih kepada kepentingan-kepentingan eksternal yang ditujukan kepada negara itu.
b. Ancaman politik. Ancaman ini ditujukan kepada stabilitas kinerja institusi negara. Tujuan mereka cukup luas, dari mulai menekan pemerintah lewat kebijakan-kebijakan tertentu, penggulingan pemerintahan, menggerakan kekacauan. Target dari ancaman politik ini adalah nilai-nilai negara, terutama identitas nasional, idiologi, dan beberpa institusi yang berurusan dengan ini. Ancaman politik juga dapat bersifat struktural, yang secara spesifik muncul ketika terjadi bentrokan antara dua kelompok besar dalam negara dengan pemikiran yang berbeda.
c. Ancaman sosietal. Ancaman sosial terhadap keamanan nasional biasanya datang dari dalam negeri. Keamanan sosial ialah mengenai ancaman terhadap keberlanjutan dari perubahan nilai, budaya, kebiasaan, identitas etnik. Masih menurut Buzan, ancaman sosietal dapat dibagi menjadi beberapa bentuk, yang secara mendasar yaitu: ancaman fisik (kematian, kesakitan), ancaman ekonomi (pengrusakan hak milik, terbatasnya akses lapangan kerja), ancaman terhadap hak-hak (pembatasan hak-hak kebebasan sipil), dan ancaman terhadap posisi atau status (penurunan pangkat, penghinaan di depan publik).
d. Ancaman ekonomi. Masalah utama dari ide tentang keamanan ekonomi adalah berlangsungnya kondisi normal dari aktor-aktor pelaku pasar tanpa gangguan persaingan tidak sehat dan ketidakpastian. Ancaman ekonomi juga mengkaji masalah pengangguran, kemiskinan, keterbatasan terhadap sumber daya, dan daya beli rakyat.
e. Ancaman ekologi. Merupakan ancaman dari bencana alam seperti banjir, longsor, hujan badai, gempa bumi. Namun yang menjadi isu sentral keamanan ekologi adalah masalah aktivitas manusia yang merusak lingkungan seperti pemanasan global, efek rumah kaca, banjir, eksplorasi sumber daya alam secara besar-besaran dan terus menerus.
Kerangka anilisis ini memperlihatkan pergantian yang cukup berarti dari pemikiran tradisionalis tentang konsep keamanan yang sempit, terutama ketika keamanan membawa isu-isu non-militer sebagai fokus kajiannya. Banyaknya dimensi keamanan nasional membawa konseptualisasi tentang keamanan komprehensif (comprehensive security). Pandangan yang berpijak dari anggapan bahwa keamanan nasional sebagai sesuatu yang bersifat komprehensif percaya bahwa keamanan nasional terdiri dari bukan hanya ancaman yang berdimensi militer, tetapi juga yang berdimensi non-militer. Selain itu, lingkup keamanan juga bukan hanya terbatas pada substansi kewilayahan (territorial security) tetapi juga menjadi isu spesifik, seperti:
a. Keselamatan masyarakat (public safety).
b. Perlindungan masyarakat (community protection).
c. Ketertiban umum, penegakan hukum dan ketertiban masyarakat (law enforcement and good order).
d. Pertahanan nasional (national defence).
Dengan demikian maka fungsi national security cakupannya amat luas dan beragam. Pengertian national security yang sangat luas ini kadang-kadang sering diartikan sempit dan menjadi rancu ketika keamanan dan ketertiban masyarakat diberi label keamanan saja. Pengertian keamanan seharusnya tidak berdiri sendiri, karena mempunyai pengertian yang berbeda dan spesifik bila mempunyai atribut tertentu. Atribut itulah yang membedakan konteks dan bobot dari makna keamanan itu sendiri. Beberapa contoh kongkrit misalnya keamanan global (global security), keamanan regional (regional security), keamanan dalam negeri (internal security), keamanan dan ketertiban masyarakat (public security ang good order), dan keamanan manusia (human security).
Pemahaman keamanan nasional yang komprehensif pada umumnya disertai dengan tututan untuk mengedepankan keamanan manusia (human security). isu-isu militer dan non militer tidak hanya mengacam keutuhan negara tetapi juga mengacam individu-individu yang berdiam di sebuah negara. Ancaman keamanan yang tertuju langsung terhadap individu diartikan melalui konsep human security, dengan alasan bahwa objek dari keamanan seharusnya bukan hanya negara dan kelompok-kelompok di bawah naungan negara, tetapi juga orang-orang secara individu dimana mereka sebagai aktor yang membentuk istitusi kenegaraan itu (Hough, 2004:9).
Pada tahun 1990, PBB telah membangun dan mengembangkan konsep tentang keamanan manusia, yang menurut UNDP[1],yaitu The concept of security must change—from an exclusive stress on natioal security to a much greater stress on people’s security, from security through armaments to security through human development, from territorial to food, employment and environmental security.
Sedangkan United Nations Development Program (UNDP) dalam Human Develpment Report (HDR) membuat tujuh dimensi keamanan, yaitu: [2]
a. Keamanan Ekonomi (economic security): dimana diperlukan pendapatan dasar dari pekerjaan produktif.
b. Keamanan Pangan (food security): setiap orang pada setiap kesempatan memiliki akses (baik kesehatan dan ekonomi) terhadap panganan dasar.
c. Keamanan Kesehatan (health security): setiap orang harus dijamin kesehatannya dan akses untuk menuju sehat.
d. Keamanan Lingkungan: kesehatan dan ketertiban serta keamanan lingkungan secara fisik.
e. Keamanan Individu: pengurangan ancaman individu dari tindakan kejahatan
f. Keamanan Komunitas: keamanan melalui keanggotaan dalam suatu kelompok.
g. Keamanan Politis: dijaminnya kehidupan dalam masyarakat yang menghargai hak asasi manusia.
Dalam mengartikan kalimat dari human security sangat penting sekali untuk mengetahui bahwa terdapat tiga pendekatan aliran pemikiran terhadap konsep human security (Jackson & Sorensen, 1999:209). Pendekatan pertama dapat disebut sebagai pendekatan yang berdasarkan hak-hak yang menjadi fokus utama dari human security. Pendekatan yang berdasarkan hak-hak pada human security melihat untuk menguatkan kerangka normatif yang sah pada level internasional dan regional juga menguatkan hukum atas hak asasi manusia dan sistem peradilan pada tingkat nasional.
Pendekatan kedua, menitikberatkan kepada konsep human security dalam kerangka kemanusiaan dimana keselamatan masyarakat (dapat juga diartikan sebagai bebas dari rasa takut) merupakan tujuan utama dibalik intervensi internasional. Konsepsi ini melihat teroris sebagai salah satu ancaman yang utama terhadap human security. Pendekatan ini juga melihat human security diperlukannya tindakan darurat dalam menangani korban jiwa yang banyak dalam konflik yang melibatkan kemanusiaan.
Pendekatan ketiga dapat diartikan sebagai pembangunan manusia yang berkelanjutan dilihat dari sudut pandang human security. Konsep ini berkaitan erat dengan apa yang didefinisikan oleh UNDP dalam Human Development Report pada tahun 1994 mengenai pendefinisian human security. Pendekatan ketiga berkaitan dengan pendekatan liberalisme dalam hubungan internasional terutama liberalisme institusional. Dimana, institusi internasional membantu dalam mendorong kerja sama antara negara dan membantu menghilangkan rasa saling tidak percaya antara negara dan ketakutan negara-negara merupakan masalah klasik yang diasosiasikan dalam suatu sistem internasional yang anarki.
Walaupun terdapat tiga konsep yang berbeda-beda terhadap human security, sejauh ini ketiganya memiliki kesamaan terhadap fokus utama perhatian mereka terhadap individu dari pada negara. Sehingga secara garis besar terdapat beberapa kriteria mengenai apa yang dimaksud human security, yaitu:
a. Peduli akan keselamatan dan perluasan kebebasan masyarakat.
b. Berfokus banyak terhadap permasalahan perlindungan masyarakat dari bahaya ancaman.
c. Menitikberatkan kepada individu dan komunitas, bukan negara.
d. Dibangun dalam kerangka global dalam konsep mengenai hak asasi manusia (HAM).
e. Peduli terhadap hubungan antara pelanggaran HAM dalam lingkup nasional dan ketidakamanan nasional serta internasional.
Dari berbagai dimensi keamanan nasional tersebut maka pada dasarnya konsep keamanan nasional bersifat umum dan menyeluruh melingkupi berbagai aspek kehidupan bukan sekedar aspek pertahanan dan militer. Kekuatan nasional bertumpu kepada kekuatan militer dan non militer dalam mengahadapi ancaman militer (ancaman militer yaitu invasi militer asing) dan non militer (kejahatan transnasional yang terorganisir seperti terorismepencurian kekayaan alam, imigran gelap, narkoba, perusakan lingkungan hidup). Menurut Kusnanto Anggoro, kategori keamanan tradisonal dapat dimasukkan dalam bentuk baru seperti spill-over perlombaan senjata, keamanan tekhnologi (technology security), keamanan sumber daya, dan akses pasar. Selain itu, Anggoro (2005:27) juga menyebut terminologi ancaman non-konvensional atau ancaman keamanan non-tradisional, antara lain keamanan lingkungan (environment security), keamanan pangan (food security), keamanan energi (energy security), keamanan sumber daya (resource security), keamanan narkoba (norsecurity).
Selaras dengan uraian di atas, konseptualisasi keamanan nasional menurut Anggoro (2005:6) terdiri dari tiga aras, yaitu:
a. Proliferasi substansial, khususnya ketika keamanan nasional tidak cukup hanya bergumul dengan keamanan negara, tetapi juga harus memberikan ruang untuk keamanan warga negara.
b. Proliferasi sektoral dengan masuknya berbagai lingkup non-teritorial seperti keamanan lingkungan, keamanan ekonomi, dan keamanan energi.
c. Proliferasi vertikal dengan masuknya dimensi-dimensi non-militer sebagai sesuatu yang dianggap sebagai ancaman terhadap keamanan nasional, dalam arti sempit yaitu sebagai keamanan kedaulatan pemerintah maupun dalam arti luas yang mengedepankan keamanan manusia.
Tidak berbeda jauh dengan Anggoro, dimensi keamanan kontemporer oleh Benjamin Miller dicirikan sebagai berikut:
a. The origin of threats. Ancaman aksternal digeser oleh ancaman domestik yang terfokus pada isu-isu primordial, langkanya akses terhadap sumber daya ekonomi domesik, terbatasnya kemampuan pemenuhan kebutuhan dasar pangan.
b. The nature of threats. Sumber ancaman tidak lagi hanya bersifat tradisional militer tetapi lebih banyak kepada ancaman kontemporer yaitu ekonomi, sosial-budaya, lingkungan hidup, isu-isu kesehatan masyarakat.
c. Changing response. Pendekatan keamanan militeristik digeser ke pendekatan non-militer (ekonomi, politik, hukum, dan sosial-budaya).
d. Changing responsibility of security. Tanggung jawab terhadap keamanan tradisional merupakan tugas negara, namun dalam ancaman terhadap keamanan manusia sebagai keamanan kontemprorer, dikendalikan oleh kerja sama transnasional antara aktor negara dan non-negara.
e. Core values of security. Keamanan tradisional membawa nilai-nilai kemerdekaan nasional, kedaulatan, dan integritas teritorial yang kesemuanya mengandalkan aspek militer untuk menjaganya. Sedangkan nilai-nilai pada keamanan kontemporer diantaranya adalah Hak Asasi Manusia, demokratisasi, kesehatan, lingkungan hidup, dan memerangi kejahatan transnasional (perdagangan narkotika, pencucian uang, terorisme, dan perdagangan manusia).
Indonesia memiliki banyak alasan untuk menuntun keamanan manusia menjadi jaminan terhadap setiap manusia yang hidup di tanah Indonesia. Persoalan-persoalan di wilayah perbatasan seperti kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan, perusakan lingkungan, kekerasan domestik, ancaman kematian, teror, konflik bersenjata merupakan sebuah ancaman yang tertuju pada keamanan nasional Indonesia. Oleh karena ancaman yang timbul pada masa kini begitu kompleks dan berasal dari berbagai aspek kehidupan, maka dapat dikatakan bahwa pada prinsipinya keamanan nasional di Indonesia terdiri dari keamanan internal (keamanan dalam negeri) dan keamanan eksternal, dimana pertahanan negara dapat berada baik dalam keamanan internal maupun keamanan eksternal. Keamanan internal terdiri atas ketertiban umum, keamanan dan ketertiban masyarakat, perlindungan masyarakat dan Keselamatan Rakyat. Sedangkan keamanan eksternal terdiri dari keamanan regional dan keamanan internasional.

Wilayah Perbatasan Ditinjau dari Keamanan Manusia (Human Security)
Paradigma pembangunan dewasa ini berorientasi pada peningkatan kualitas sumber daya manusia yang diukur melalui Indeks Pembangunan Manusia (IPM). IPM merupakan salah satu alat ukur yang terdiri dari indikator pendidikan, kesehatan, dan daya beli. Ketiganya mencerminkan kualitas sumber daya manusia yang selanjutnya berperan sebagai penjamin bagi kontinuitas pembangunan. Dalam kerangka ini, IPM memiliki potensi sebagai alat analisa situasi dan kebijakan pembangunan. Karenanya dalam konteks pelaksanaan pembangunan, pemanfaatan IPM dapat digunakan sebagai salah-satu alat atau referensi yang menduduki posisi penting dalam manajemen pembangunan baik dalam hal perencanaan, pemantauan ataupun evaluasi. Dalam kaitannya dengan human security, IPM memiliki keterkaitan erat karena ketiga indikator komposit IPM sejalan dengan komponen-komponen human security.

Human security menjadi faktor penting dalam pembangunan kawasan perbatasan. Upaya perlindungan terhadap human security membuka peluang bagi kawasan perbatasan untuk mempercepat proses pembangunan, dan karena keterkaitan yang erat dengan pembangunan ekonomi dan sosial, human security juga menjadi investasi yang penting bagi pembangunan wilayah perbatasan. Dengan demikian, tantangan bagi pemerintah (pusat dan daerah) serta berbagai stakeholders lain di wilayah perbatasan adalah bagaimana mengintegrasikan human security sebagai inti dari proses perencanaan dan implementasi pembangunan wilayah perbatasan yang berbasis pada pembangunan manusia.

Jika dalam pembangunan wilayah perbatasan tidak memperhatikan keamanan manusia, yang terjadi kemudian adalah rasa nasionalisme rakyat di wilayah perbatasan akan luntur dan hilang karena merasa tidak diperhatikan oleh pemerintah. Kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah daerah juga akan berkurang sehingga dapat menimbulkan gangguan stabilitas keamanan yang pada akhirnya akan mengganggu rasa persatuan dan kesatuan bangsa. Pendidikan dan kesejahteraan masyarakat juga harus menjadi focus pemerintah dalam membangun wilayah perbatasan.

Dengan kata lain, pembangunan wilayah perbatasan tidak hanya difokuskan bagaimana daerah tersebut aman dari gangguan separatism, wilayah kedaulatan negara tidak digerus oleh Negara tetangga, terciptanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tetapi juga harus difokuskan pada kesejahteraan masyarakat terkait dengan keadaan sosial budayanya. UNDP dalam Millenium Development Goals (2000) mengemukakan dua perspektif dalam mengkaji hubungan antara pembangunan manusia dengan keamanan manusia sebagai berikut:
a. Konsep keamanan tidak hanya difokuskan pada negara dan aspek teritorial, tapi juga pada individu-individu yang mestinya menjadi pusat perhatian. Orang harus merasa aman dalam segala aspek kehidupannya, ketika mereka berada di rumah, rasa aman terhadap pekerjaannya, ketika berada di jalan, ketika berada di tengah-tengah komunitas dan lingkungannya. Dalam perspektif ini, ada 7 (tujuh) kategori yang dapat menghilangkan rasa aman manusia, yakni:
1) Pertumbuhan penduduk yang tidak terkontrol;
2) Polusi dan kerusakan alam;
3) Perdagangan obat-obatan terlarang;
4) Terorisme internasional;
5) Instabilitas finansial;
6) Instabilitas perdagangan; serta
7) Kesenjangan global.
Dalam perspektif ini, pembangunan manusia diarahkan untuk meminimalkan ketujuh kategori tersebut melalui perencanaan pembangunan. Oleh karena itu, perencanaan pembangunan harus mencerminkan setidak-tidaknya 9 dimensi keamanan manusia yang berkaitan dengan pembangunan manusia yang berkelanjutan. Kesembilan dimensi tersebut meliputi:
1) Keamanan ekonomi;
2) Keamanan finansial;
3) Keamanan pangan;
4) Keamanan dalam hal kesehatan;
5) Keamanan dalam hal lingkungan hidup;
6) Keamanan personal;
7) Keamanan gender;
8) Keamanan komunitas; serta
9) Keamanan politik.
Dalam perspektif ini, konsep human security mencakup dimensi yang luas, mulai dari keamanan dari ancaman penyakit menular, rawan pangan, kekurangan gizi, ancaman kehidupan sehari-hari (jaminan pekerjaan, akses pendidikan, dll) sampai keamanan dari tindak kejahatan dan terorisme.
b. Perspektif kedua disebut dengan humanizing security (memanusiawikan keamanan). Dalam perspektif ini, upaya mewujudkan keamanan manusia dilakukan secara struktural melalui penegakan hukum serta upaya perlindungan terhadap individu dan komunitas dari perilaku kekerasan, baik yang dilakukan negara maupun pihak lain, misalnya teroris. Perspektif ini lebih sempit dibandingkan yang pertama karena lebih memfokuskan integrasi pembangunan manusia dengan keamanan manusia sebagai upaya melindungi individu-individu dari perilaku kekerasan.

Kesimpulan
Wilayah perbatasan darat di Indonesia umumnya merupakan kawasan yang jauh dari pusat-pusat pertumbuhan ekonomi dan pemerintahan. Ketimpangan pembangunan ekonomi dan sosial merupakan ciri yang menonjol dari kawasan-kawasan di wilayah ini yang ditandai dengan keterbatasan berbagai sarana dan prasarana dasar yang diperlukan bagi upaya pengembangan wilayah.

Pada beberapa wilayah, kawasan-kawasan di wilayah perbatasan Indonesia berdampingan dengan kawasan-kawasan di wilayah perbatasan negara tetangga seperti Malaysia (Sabah dan Sarawak) yang secara ekonomi jauh lebih maju. Perbedaan kondisi sosial ekonomi di wilayah perbatasan antar negara seperti itu, dapat menimbulkan sejumlah efek negatif yang cenderung merugikan wilayah perbatasan di Indonesia. Efek negatif tersebut misalnya adalah “perambahan” yang dilakukan oleh negara tetangga (backwash effect) (Kementerian Koordinator Politik dan Keamanan, 2003: 261) yang dapat terjadi secara disengaja atau tidak disengaja. Misalnya adalah “pemanfaatan” sumberdaya alam oleh pihak-pihak dari negara tetangga tanpa adanya kompensasi dan kewajiban-kewajiban yang memadai yang dapat mengakibatkan kerusakan sumber daya alam dan lingkungan maupun gangguan terhadap kehidupan sosial penduduk di wilayah perbatasan Indonesia.

Efek negatif lain pemanfaatan sumberdaya alam oleh pihak-pihak tertentu dari negara tetangga adalah adanya peningkatan kegiatan ekonomi di negara tersebut yang pada gilirannya dapat menimbulkan efek negatif yang disebut polarization effect; dalam hal ini sumberdaya alam dan sumberdaya manusia suatu negara ditarik/tertarik ke negara tetangga untuk membangun pusat-pusat pertumbuhan baru di wilayah negara tetangga tersebut yang berakibat terjadinya pengosongan kegiatan ekonomi di wilayah-wilayah perbatasan negara yang tertarik sumber daya alam maupun sumber daya manusianya.

Ketimpangan sosial ekonomi yang terjadi di wilayah-wilayah perbatasan Indonesia dapat menyebabkan munculnya berbagai persoalan yang pada batas tertentu dapat mengakibatkan gangguan stabilitas Negara Kesatuan Republik Indonesia. Fenomena ini dapat terjadi karena wilayah-wilayah di perbatasan kurang tersentuh oleh aktivitas ekonomi negara dan lemahnya kontrol negara atas wilayah-wilayah perbatasan tersebut. Mekanisme pasar yang bekerja di wilayah ini pada akhirnya memberi kesempatan kepada pihak-pihak tertentu dari negara tetangga untuk memperluas aktivitas ekonominya mencakup wilayah-wilayah perbatasan di Indonesia.

Selain ketimpangan sosial ekonomi, wilayah-wilayah perbatasan Indonesia, misalnya yang berada di Kalbar, Kaltim, NTT dan Papua, juga ditandai dengan karakteristik sosial budaya masyarakat yang memiliki ikatan kekerabatan dengan kelompok masyarakat lain negara tetangga. Dalam batas tertentu karakteristik seperti ini dapat menjadi kendala bagi pengelolaan dan pembangunan kawasan di wilayah-wilayah perbatasan.

Menyikapi berbagai persoalan di wilayah-wilayah perbatasan, berdasarkan hasil studi di keempat propinsi (Kalbar, Kaltim, NTT, dan Papua), perlu dirumuskan model pembangunan wilayah perbatasan yang mengacu pada pendekatan kesejahteraan dan pendekatan keamanan. Perpaduan kedua pendekatan ini terutama terletak pada arah kebijakan, strategi dan rencana program implementasi pembangunan wilayah perbatasan. Kesejahteraan tidak dapat tercapai tanpa adanya dukungan keamanan yang dalam hal ini tidak hanya terfokus pada keamanan negara, namun juga keamanan manusia dalam satu kesatuan yang utuh sebagai keamanan nasional. Sebalikyna, keamanan di semua aspek tidak dapat tercapai tanpa adanya kesejahteraan di bidang sosial ekonomi.

Menyikapi berbagai persoalan di wilayah-wilayah perbatasan, harus dirumuskan model pembangunan wilayah perbatasan yang dapat mengubah berbagai efek negatif menjadi efek positif bagi daerah-daerah yang berada di wilayah perbatasan di Indonesia. Dalam konsep ekonomi, dikenal konsep spread effects, yaitu pemanfaatan sumber daya wilayah perbatasan tidak hanya menumbuhkan pusat-pusat pertumbuhan baru bagi negara tetangga, tetapi juga menciptakan aktivitas ekonomi dan pembangunan daerah yang nyata di wilayah perbatasan Indonesia. Kompensasi lainnya dari pemanfaatan wilayah perbatasan oleh negara tetangga adalah dalam bentuk keuntungan langsung kepada masyarakat. Dalam hal ini, kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh negara tetangga seharusnya mempunyai dampak ekonomis yang langsung dan nyata kepada masyarakat perbatasan. Dampak inilah yang disebut dengan trickle down effect, di mana terjadi penyebaran kesejahteraan kepada masyarakat perbatasan.

Kedua dampak inilah yang menjadi orientasi utama dalam model-model pembangunan wilayah perbatasan yang dikembangkan oleh berbagai studi terdahulu. Namun, model-model terdahulu belum secara mendalam membahas mengenai peran keamanan dalam menunjang pendekatan kesejahteraan tersebut.


sumber: http://budiutomo79.blogspot.com/2007/09/pembangunan-wilayah-perbatasan.html

Wilayah

Pengertian Wilayah

Wilayah merupakan suatu unit dari geografi yang dibatasi oleh parameter tertentu dan bagian-bagiannya tergantung secara internal. Para ahli geografi memandang wilayah adalah tiap bagian yang ada di permukaan bumi, dengan wilayah yang paling luas adalah seluruh permukaan bumi. Dalam geografi wilayah permukaan bumi terlalu luas, maka wilayah tersebut dibagi menjadi bagianbagian tertentu.
Wilayah dibagi berdasarkan homogenitas tertentu yang membedakan antara wilayah yang satu dengan wilayah yang lain. Tujuan dari dibentuknya pewilayahan adalah untuk menyifatkan dan memberi arti terhadap bermacam-macam wilayah, serta untuk mengetahui adanya kemungkinan pengembangan suatu wilayah.

Jenis-Jenis Wilayah

Wilayah atau pewilayahan dalam geografi disebut juga geografi regional yaitu pengelompokan wilayah di permukaan bumi berdasarkan kriteria tertentu yang membedakan antara wilayah satu dengan wilayah lainnya. Dalam geografi dikenal tiga kriteria pewilayahan dengan ciri-ciri sebagai berikut,

1. Pewilayahan berciri tunggal (single topic region), yaitu penetapan regional atau wilayah yang didasarkan pada salah satu aspek geografi. Contoh kemiringan lereng dapat menunjukkan ketampakan dari suatu daerah, apakah termasuk daerah yang datar, landai, atau terjal. Di sini lokasi suatu daerah hanya dilihat dari satu aspek geografi yaitu derajat kemiringan lereng.
2. Pewilayahan berciri majemuk (multi topic region), yaitu penetapan wilayah yang didasarkan pada beberapa faktor geografi. Contoh penetapan wilayah berdasarkan iklim yaitu iklim tropik, subtropik, sedang, dan dingin. Di katakan berciri majemuk karena iklim terbentuk dari beberapa unsur seperti suhu, curah hujan, dan angin.
3. Pewilayahan berciri keseluruhan (total region), yaitu penetapan wilayah yang didasarkan pada banyak faktor menyangkut lingkungan alam, lingkungan biotik, maupun manusia.

Contoh ekosistem mangrove, dikatakan bercirikan keseluruhan karena melibatkan faktor alam, biotik, dan manusia di sekitarnya.

Pewilayahan Secara Geografi

1. Berdasarkan Pembagian Waktu

Indonesia memiliki perbedaan waktu kurang lebih 3 jam antara Indonesia paling timur dan paling barat.
#

- Daerah Waktu Indonesia Barat (WIB).
- Daerah Waktu Indonesia Tengah (WITA).
- Daerah Waktu Indonesia Timur (WIT).

# Berdasarkan Bentuk Dasar Laut

Berdasarkan pada bentuk dasar laut Indonesia dibagi menjadi tiga wilayah yaitu sebagai berikut.
- Paparan Sunda
- Paparan Sahul
- Dasar Laut Peralihan

# Berdasarkan Wilayah Pembangunan

Wilayah Indonesia yang begitu luas dengan pulau-pulau yang sangat banyak merupakan salah satu hambatan dalam mengoordinasi pelaksanaan pembangunan. Untuk mengatasi hal tersebut, maka dibuatlah pembagian wilayah pembangunan dengan sistem koordinasi pada pusat wilayah pengembangan. Pembagian wilayah pembangunan dilaksanakan sejak Repelita II. Dasar yang digunakan dalam pembagian wilayah adalah adanya kegiatan di suatu provinsi yang mempunyai kaitan erat dengan kegiatan di provinsi lain.
Pembagian wilayah pembangunan bertujuan untuk pemantapan dan pemusatan kegiatan pembangunan agar tercapai pembangunan yang serasi dan seimbang.


# Berdasarkan Geologi (Rangkaian Pegunungan)

Berdasarkan rangkaian pegunungan Indonesia dapat dikelompokkan dalam dua wilayah, yaitu:
- Rangkaian Pegunungan Sirkum Mediterania
- Rangkaian Pegunungan Sirkum Pasifik

Berdasarkan Ciri-Ciri Umum

Berdasarkan ciri-ciri umum wilayah dapat dibedakan sebagai berikut.

1. Wilayah Homogen

Wilayah homogen merupakan wilayah yang memiliki satu parameter dengan sifat atau ciri yang hampir sama.

2. Wilayah Nodal

Wilayah nodal merupakan wilayah yang secara fungsional memiliki sifat saling ketergantungan antara daerah pusat dengan daerah di sekitarnya. Besarnya ketergantungan antara pusat dan daerah dapat dilihat dari faktor produksi, penduduk, barang, dan jasa, maupun perhubungan di antara keduanya.

3. Wilayah Perencanaan

Wilayah perencanaan dapat diartikan sebagai wilayah yang menggambarkan kesatuan-kesatuan keputusan ekonomi. Wilayah perencanaan memiliki ciri-ciri sebagai berikut.
a. Masyarakat yang berada di wilayah perencanaan mempunyai kesadaran terhadap permasalahan yang dihadapi daerahnya.
b. Memiliki kemampuan untuk merubah industri yang dilaksanakan sesuai dengan tenaga kerja yang tersedia.
c. Menggunakan salah satu model perencanaan.
d. Memiliki setidaknya satu pusat pertumbuhan.

4. Wilayah Administrasi

Wilayah administrasi merupakan wilayah yang mendasarkan pada kepentingan administrasi pemerintahan dengan batas yang telah ditentukan.

Menjaga Keutuhan WIlayah Teritorial Indonesia Terhadap Skenario Penjajah

Menjaga Keutuhan WIlayah Teritorial Indonesia Terhadap Skenario Penjajah

Negara Indonesia merupakan negara yang sangat saya cintai, terutama dikarenakan saya lahir dan dibesarkan di negara ini jadinya saya harus bertanggung jawab menjaga keutuhan wilayah negara indonesia ini, dikarenakan Luasnya wilayah Indonesia yang sebenarnya dapat menjadi potensi yang sangat besar, ditambah lagi dengan tanahnya yang subur dan kekayaaan alamnya yang melimpah. Namun, akhir-akhir ini luasnya negeri yang dihuni oleh sedikitnya 200 juta jiwa itu justru rawan konflik yang dapat mengikis potensinya. Konflik yang sangat berbahaya dan harus mendapat perhatian serius adalah konflik yang mengarah pada separatisme, seperti yang terjadi di Aceh, Ambon (Maluku), dan Papua. Saya tertarik untuk mempublikasikan kembali artikel ini untuk mengingat kembali tentang keselamatan wilayah Indonesia ini.

Gerakan separatis yang mengarah pada pemisahan diri dari Indonesia harus dicermati agar pintu masuknya penjajah, baik Amerika Serikat (AS), Inggris maupun Uni Eropa, dalam rangka mengendalikan Indonesia dapat ditutup rapat-rapat. Kita harus belajar dari kasus Timor Timur, di mana upaya internasionalisasi konflik domestik tersebut pada akhirnya mengokohkan intervensi negara-negara asing untuk memisahkan wilayah konflik tersebut dari wilayah induknya, Indonesia. Begitu diinternasionalisasi, maka persoalan tersebut sulit untuk ditarik kembali menjadi persoalan domestik. Ini tampak dari begitu sulitnya pemerintah untuk menarik kembali persoalan Aceh dan Papua menjadi sebatas persoalan domestik. Sementara itu, persoalan Maluku pun terus ditarik agar menjadi masalah internasional. Proses internasionalisasi persoalan ini harus kita waspadai karena bisa dijadikan sarana untuk memecah-belah negeri Muslim terbesar Indonesia, seperti yang terjadi terhadap Timor Timur.

Upaya Internasionalisasi Aceh, Papua, dan Maluku

Dalam kasus Aceh, kita memang tahu bahwa konflik yang berlangsung di sana telah berlangsung puluhan tahun. Sementara kebijakan yang dilakukan selama ini oleh pemerintah, terbukti kurang efektif. Ini terjadi karena persoalan Aceh adalah persoalan politik, yang semestinya tidak bisa hanya diselesaikan secara militeristik. Persoalan politik di Aceh jelas sekali tidak bisa dilepaskan dari campur tangan negara-negara imperialis asing yang terus-menerus memprovokasi terjadinya perlawanan di sana. Karena itu, selain penyelesaian secara militeristik, seharusnya pemerintah menempuh sejumlah manuver politik untuk membongkar apa yang sesungguhnya terjadi di Aceh. Namun sayang, yang dilakukan justru sebaliknya. Pemerintah bahkan menyerahkan persoalan ini kepada lembaga-lembaga asing. Maka, tidak heran jika persoalan separatisme di Aceh akhirnya digiring untuk menjadi agenda internasional. Hal ini terlihat pada sejumlah fakta berikut ini:

1. Pimpinan GAM, Hasan Tiro berdiam di luar negeri, Swedia. GAM hanya mau melakukan pertemuan-pertemuan yang diadakan di luar negeri.

2. Adanya peran LSM The Henry Dunant Centre (HDC) dan negara-negara donor (AS, Uni Eropa, Jepang, dan Bank Dunia) yang memfasilitasi upaya penyelesaian secara kompromi antara pemerintah dan GAM. Satu hal yang perlu dicatat, bahwa HDC adalah organisasi yang berpusat di AS. Sementara itu, Pangdam Iskandar Muda, Mayjen TNI Muhammad Djali Yusuf, ketika itu (Juli 2002), pernah memberikan peringatan kepada LSM internasional HDC. Sebab, lembaga ini diduga telah menjadi mata-mata untuk kepentingan kelompok GAM (Kompas Cyber Media, 10/07/2002).

3. Bila sebelumnya yang menjadi mediator adalah HDC, kini dialihkan ke Uni Eropa yang dipimpin oleh Inggris.

4. Tentara Nasional Indonesia (TNI) akan ditarik dari Aceh. Lalu, Uni Eropa akan mengirim sekitar 200 personel militer ke Nanggroe Aceh Darussalam. Untuk tidak terkesan adanya pasukan asing, mereka sengaja mengenakan pakaian sipil. Jadi, yang menjadi penjaga keamanan di negeri ini sendiri, bukan lagi TNI, melainkan militer asing (Uni Eropa). Sungguh aneh.

5. Di Aceh sendiri, pasca tragedi tsunami telah hadir lebih dari 100 LSM asing. Fakta di lapangan menunjukkan, bahwa program utama mereka adalah mengubah pola mental dan struktur sosial masyarakat. Ujungnya, masyarakat Aceh yang memiliki kultur Islam dijauhkan dari kultur mereka dan dialihkan menjadi kultur sekuler. Untuk bisa melakukan upaya disintegrasi, negara-negara imperialis tersebut biasanya membentuk organisasi-organisasi yang terkesan non politis seperti misionaris, kemanusiaan, dan keilmuan. Mereka umumnya menggunakan baju LSM. Tentu saja organisasi ini hanyalah kedok belaka untuk memuluskan upaya negara-negara imperialis dalam melakukan disintegrasi di negeri-negeri Islam.

Ingat, ketika mereka dahulu memecah-belah Khilafah Islam. Negara-negara Kafir Imperialis itu sengaja mengirim agen-agen mereka dengan menyamar sebagai misionaris yang dengan terbuka bergabung dalam bebagai bentuk misi kemanusiaan dan keilmuan. Beberapa organisasi tersebut antara lain Association of Arts and Science (1842) yang berada di bawah perlindungan misi Amerika, the Oreintal Association (1880) yang didirikan oleh perwalian Jesuit Perancis, dan Syrian Scientific Assocation (1857) yang sebagian besar anggotanya adalah orang-orang Arab.

Sementara konflik di Papua merupakan konflik paling kompleks yang pernah ada di Indonesia setelah merdeka. Di Papua, konflik politik, konflik adat, konflik ekonomi, dan konflik hukum bercampur-aduk menjadi satu. Ada sekitar 250 suku yang beragam di Papua; masing-masing bisa saling serang. Konflik politik di Papua ini jika tidak diatasi segera, bisa menjadi lebih buruk daripada konflik di Aceh. Dunia internasional lebih mudah menyambut Papua merdeka, ketimbang Aceh merdeka. Papua tidak membawa aroma Islam yang saat ini tidak disukai dunia Barat.

Belakangan ini bendera Bintang Kejora sering dikibarkan di Papua. Bintang Kejora dan lagu kebangsaan Hai Tanahku Papua merupakan salah satu simbol Nasionalisme Papua yang menghendaki wilayah Papua Barat (Irian Barat/Irian Jaya) menjadi negara-bangsa (nation-state) yang merdeka dan berdaulat penuh. Nasionalisme Papua seperti ini pada awalnya dibangun oleh Pemerintah Belanda, terutama pada masa menjelang pelaksanaan Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 1949, bahkan sejak tahun 1945.

Sejak awal, pengibaran Bintang Kejora ini telah dilarang oleh pemerintah Indonesia. Bahkan larangan itu mengakibatkan meletusnya pemberotakan bersenjata pertama di Manokwari (26 Juli 1965) yang dimotori oleh Mandatjan dan Awom bersaudara dengan dukungan politikus senior John Ariks. Penyerangan terhadap kompleks TNI di Manokwari yang dilanjutkan dengan menjalarnya pemberontakan bersenjata ke seluruh wilayah Kepala Burung itulah yang dinyatakan sebagai hari lahirnya Organisasi Perjuangan Menuju Kemerdekaan Papua Barat, organisasi yang oleh Pemerintah Indonesia dan aparat keamanan sering disebut sebagai Organisasi Papua Merdeka (OPM). Seorang doktor Ilmu Administrasi Negara lulusan Amerika Serikat, Thomas Wanggai, kembali mengibarkan Bintang Kejora secara atraktif di stadion Mandala Jayapura pada 14 Desember 1988. Demikianlah, sampai hari ini pengibaran Bintang Kejora masih terjadi di berbagai tempat di Papua.
Terlepas dari cara apa pun yang pernah dilakukan oleh PBB dan Indonesia dalam proses penyatuan kembali Papua Barat kepada Indonesia, proses politik dari sisi internasional sudah selesai. Pada Juli - Agustus 1969 di Papua diadakan Referendum 1969 atau Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera). Pada Sidang Umum PBB (September-Oktober 1969), AS mendukung hasil Pepera yang menyatakan bahwa sebagian besar rakyat Papua memilih integrasi dengan Indonesia. Kemudian dikukuhkan PBB melalui Resolusi 2504 tanggal 19 November 1969. Sejak itu ada pengakuan internasional atas kedaulatan Indonesia yang mencakup Papua.

Tetapi, kini tuntutan pemisahan diri Papua dari Indonesia mencuat kembali. Peristiwa ini tampak tidak dapat dilepaskan dari upaya Barat, khususnya AS, yang selalu berada di belakang separatisme, bila hal itu bisa menguntungkan mereka. Hal tersebut diindikasikan antara lain oleh:

1. Kehadiran Sekretaris I Kedubes Amerika pada Kongres Papua dan kehadiran utusan Australia, Inggris dan negara-negara asing lainnya. Kongres Rakyat Papua yang berlangsung tanggal 29 Mei - 4 Juni 2000, menggugat penyatuan Papua dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang dilakukan pemerintah Belanda, Indonesia, dan PBB di masa Presiden Soekarno. Menurut kongres tersebut, bangsa Papua telah berdaulat sebagai sebuah bangsa dan negara sejak 1 Desember 1961. Selanjutnya kongres meminta dukungan internasional untuk memerdekakan Papua (Kompas, 05/06/2000). Selain itu, diduga keras telah terjadi pengiriman senjata-senjata untuk para propagandis separatisme di Irian Jaya (OPM) oleh Papua Nugini dan Australia.

2. Kasus penembakan yang terjadi di Mile 62 - 63 jalan Timika - Tembagapura (Papua) pada 31 Agustus 2002. Peristiwa tersebut merenggut tiga nyawa karyawan PT Freeport Indonesia (PTFI), masing-masing dua warga negara AS dan satu WNI, serta melukai 11 orang, satu di antaranya anak-anak, di wilayah kerja Freeport. Kasus ini terus diangkat oleh AS ke dunia internasional. Bahkan FBI dan CIA berdatangan ke Papua untuk mengusut peristiwa tersebut, termasuk kematian misterius Ketua PDP, Theys H Elluay. Sejak saat itu, persoalan Papua berhasil diangkat oleh AS untuk menjadi perhatian negara-negara di dunia maupun masyarakat internasional sebagai kasus pelanggaran HAM.

3. Bersama Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Republik Maluku Selatan (RMS) dan Fretilin, Organisasi Papua Merdeka (OPM) memiliki wadah tingkat internasional, yaitu Unrepresented Nations and Peoples Organizations (UNPO) yang bermarkas di Belanda. Para pimpinan mereka sering melakukan pertemuan di markas UNPO. Jadi, gerakan separatis di Indonesia memiliki wadah koordinasi di tingkat internasional, di mana antar gerakan tersebut tidak berdiri secara terpisah.

4. Juli 2005, Kongres AS membuat Rancangan Undang-Undang (RUU) 2601 yang memuat masalah Papua di Amerika. RUU itu sendiri telah disetujui Kongres AS dengan perbandingan suara 315 versus 78. Di antara isi RUU itu (section 1115) adalah adanya kewajiban menteri luar negeri AS untuk melapor kepada Kongres tentang efektivitas otonomi khusus Papua dan keabsahan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969. Sekalipun pemerintah AS melalui Deplu AS yang disiarkan dari Washington DC, Jum’at (29/7/2005), menyatakan tidak mendukung disintegrasi Papua dari Indonesia, namun persetujuan mayoritas Kongres terhadap RUU tersebut menunjukkan AS akan mendukung pelepasan tersebut.

Sedangkan di Maluku, upaya separatisme oleh gerakan Republik Maluku Selatan (RMS) juga menempuh upaya yang sama. RMS mewujud dalam wajah lain bernama Forum Kedaulatan Maluku (FKM). Upaya intersionalisasi persoalan domestik Indonesia juga tampak pada FKM di Maluku. Ketua FKM, Alex Manuputty, mengakui bahwa jaringan FKM yang aktif terdiri dari 50 orang yang tersebar di berbagai negara seperti Australia, Belanda, Jerman, Amerika, dan Eropa. Bahkan, kini Alex Manuputty dikabarkan kabur ke Amerika, dan bebas berkeliaran di sana. Sementara pemerintah tidak bisa berbuat apa-apa.
Internasionalisasi konflik yang terjadi di Maluku dengan turut campurtangannya Paus, PBB, dan berbagai pernyataan Amerika yang disampaikan berkali-kali, tidak lain adalah dalam rangka memisahkan wilayah Maluku dari Indonesia, dengan alasan bahwa mayoritas penduduknya adalah Kristen, seperti yang banyak dilansir oleh media massa yang tendensius. Semuanya itu menjadi catatan tersendiri, bahwa memang ada dukungan terhadap kelompok spratisme di Indonesia.

Semua fakta tadi menggambarkan dengan jelas, bahwa upaya internasionalisasi persoalan domestik Indonesia, khususnya persoalan disintegrasi, tampaknya memang merupakan agenda negara-negara Kafir imperialis Barat. Tujuannya jelas, agar dunia internasional mendukung disintegrasi tersebut seperti yang terjadi di Timor Timur. Sayangnya, pemerintah tidak bersikap tegas, dan melakukan manuver yang tepat untuk mengantisipasi persoalan tersebut.

Bahaya Disintegrasi

Harus diakui, salah satu nikmat terbesar yang diberikan kepada negeri-negeri Muslim, khususnya Indonesia, selain kekayaan alamnya yang melimpah, adalah penduduknya yang mayoritas Muslim. Siapa pun yang menghayati Islam akan menyaksikan, setidak-tidaknya ada lima potensi besar yang dimiliki umat Islam:

Pertama, Potensi Ideologis. Setelah komunisme runtuh, satu-satunya musuh ideologis AS adalah Islam. Carleton, saat mengomentari peradaban Islam dari tahun 800 M hingga 1600 M, menyatakan, “Peradaban Islam merupakan peradaban yang terbesar di dunia. Peradaban Islam sanggup menciptakan negara adidaya (super state) yang terbentang dari satu samudera ke samudera lain; dari iklim Utara hingga Tropis dengan ratusan juta orang di dalamnya, dengan perbedaan kepercayaan dan suku.” (Carleton, Technology, Business, and Our Way of Life: What’s Next). Begitu juga pemikir yang sangat dipercaya AS, Samuel Huntington, dalam The Clash of Civilitation, menulis, “Problem mendasar bagi Barat bukanlah fundamentalisme, tetapi Islam sebagai peradaban yang penduduknya yakin akan ketinggian kebudayaannya, tapi dihantui rendahnya kekuataan mereka saat ini.” Bush sendiri saat akan menyerbu Afghanistan menyatakan, bahwa perang tersebut merupakan perang peradaban. Potensi ideologis inilah yang dipandang sebagai ancaman oleh negara Kafir Imperialis.

Kedua, Potensi Geopolitis. Kaum Muslim secara geografis menempati posisi strategis jalur laut dunia. Mereka menempati Selat Gibraltar, Terusan Suez, Selat Dardanella dan Bosphorus yang menghubungkan jalur laut Hitam ke Mediterania, Selat Hormuz di Teluk dan Selat Malaka di Asia Tenggara. Dengan menempati posisi strategis seperti ini, kebutuhan dunia banyak ditentukan oleh umat Islam. Sebab, lalu-lintas internasional pasti akan melewati jalur laut tersebut. Jika seluruh wilayah kaum Muslim di dunia bersatu di bawah naungan Khilafah Islam, dan umat Islam berada dalam satu suara dan satu komando, niscaya mereka akan menjadi kekuatan adidaya. Inilah yang dianggap berbahaya oleh negara-negara besar yang mengemban ideologi Kapitalis saat ini. Dalam hal ini Indonesia merupakan salah satu negeri Muslim yang memiliki posisi geopolitis yang sangat strategis dalam percaturan internasional.

Ketiga, Potensi Sumber Daya Alam. Negeri-negeri Islam juga dianugerahi Allah dengan kekayaan alam yang melimpah; lembah, ngarai, hutan nan hijau, rempah-rempah yang melimpah, isi perut bumi berupa bahan tambang, minyak, dan gas bumi; kesuburan yang tiada taranya; laut dengan segala macam potensi yang ada di permukaannya, di dasarnya, maupun di perut buminya. Pendek kata, negeri kita, negeri kaum Muslim ini, dikurniai Allah SWT kekayaan yang luar biasa. Sebagai contoh, kekuatan ini pernah ditunjukkan oleh negeri-negeri Arab dalam embargo minyak tahun 1973-1974. Embargo ini sempat mengguncang ekonomi AS dan Eropa. Potensi sumberdaya alam ini, di satu sisi dipandang sebagai bahaya yang dapat mengalahkan negara-negara besar; sementara di sisi lain merupakan lahan bagi negara-negara besar untuk memperkaya diri mereka. Sekali lagi, Indonesia merupakan negara yang amat kaya sumberdaya alamnya.

Keempat, Potensi Jumlah Penduduk. Memang, jumlah penduduk bukanlah faktor penentu kekuatan suatu negara. Namun bila umat Islam di seluruh dunia bersatu di bawah Khilafah, jumlah penduduknya akan menjadi penduduk terbesar dengan ideologi Islam. Tentu, ini merupakan kekuatan yang luar biasa. Realitas menunjukkan, bahwa Indonesia dengan penduduk 220 juta jiwa merupakan negeri Muslim yang berpenduduk terbesar di dunia.

Kelima: Potensi Militer. Harus diakui, bahwa saat ini kekuatan militer dunia Islam sangat bergantung kepada musuh-musuh mereka. Tetapi, secara kuantitas jumlah tentara di Dunia Islam sangat besar. Bila direkrut 1 % saja dari penduduknya yang 1,5 Milyar, akan didapat 15 juta tentara. Di Indonesia, bila 1% saja penduduk dewasa menjadi tentara akan ada 10 juta tentara. Karena itu, dapat dibayangkan betapa kuatnya jika mobilisasi pasukan militer ini dilakukan oleh sebuah negeri Muslim, apalagi negara yang bersifat internasional. Pada sisi ini pula, Islam dipandang sebagai ancaman bagi peradaban Barat yang kapitalistik. Dalam hal ini, Indonesia dipandang juga memiliki potensi tersebut.
Semua potensi ini memunculkan ambisi negara-negara barat, agar umat Islam tidak menjadi negara adikuasa yang dapat menghilangkan kezhaliman dan nafsu penjajahan mereka? Dengan kata lain, bagaimana agar Islam dapat dikebiri secara ideologis? Bagaimana agar geopolitisnya tidak dapat digunakan untuk membangun peradaban Islam, melainkan justru dapat digunakan untuk kepentingan Barat? Bagaimana agar sumberdaya alamnya tidak dapat dikelola untuk memenangkan persaingan ekonomi dengan mereka; sebaliknya dapat dikuras untuk kepentingan mereka? Bagaimana agar penduduknya tidak menjadi ancaman? Dan bagaimana agar tidak muncul kalangan militer yang memiliki kesadaran ideologis Islam dalam jumlah yang besar, yang rindu akan perjuangan Islam, dan tidak mengalami depresi dalam pertempuran, bahkan siap berjuang dengan prinsip “hidup mulia atau mati syahid”? Jawabannya hanya satu, yaitu umat Islam harus dibuat lemah. Agar umat Islam lemah, maka harus dipecah belah. Karena itu, dilakukan berbagai upaya untuk menciptakan disintegrasi di tengah kaum Muslim. Saat ini Umat Islam telah terpecah menjadi 56 negara. Bahkan dari negara yang kecil-kecil itu akan dipecah belah lagi dengan disintegrasi yang terus berjalan hingga sekarang. Indonesia kini sedang diarahkan pada terjadinya disintegrasi semacam ini. Tujuannya agar umat Islam semakin remuk, hancur berkeping-keping, dan bertempur dengan sesamanya. Umat Islam dibuat menjadi buih raksasa!

Karenanya, mudah diduga apa yang memotivasi Barat untuk melakukan disintegrasi atas negeri-negeri Islam. Persatuan negeri-negeri Islam jelas merupakan ancaman besar bagi negara-negara Kafir Imprialisme Barat. Apalagi jika persatuan itu dibangun atas dasar ideologi yang sahih, yakni mabda Islam yang berdasarkan akidah Islam; dengan penerapan hukum-hukum yang mulia dan agung yakni syariat Islam, di dalam sebuah naungan institusi politik, yaitu Khilafah Islam.

Memang, tak dapat dipungkiri telah terjadi kezaliman dan ketidak adilan atas hak-hak rakyat di berbagai daerah. Namun, kondisi semacam ini tidak dapat diselesaikan dengan upaya disintegrasi atau pemisahan diri dari wilayah kesatuan negeri Muslim. Pemecahan yang sahih adalah dengan menyingkirkan kezaliman tersebut dan menyetarakan hak-hak seluruh rakyat dengan baik. Kezaliman yang terjadi selama ini disebabkan karena tidak diterapkannya syariat Islam. Ajaran Islam memerintahkan penguasa untuk menegakkan keadilan atas seluruh wilayah dan seluruh lapisan masyarakat, meskipun mereka berbeda-beda suku dan keyakinannya. Islam memerintahkan untuk bersikap adil dan ihsan. Juga memerintahkan untuk berbuat baik dalam hal pengaturan dan memelihara seluruh urusan warga negara, baik Muslim maupun non-Muslim. Sabda Rasulullah saw:
Dan seorang imam (Khalifah) adalah pemimpin atas (seluruh) rakyatnya. Dan ia bertanggung jawab atas (seluruh urusan) rakyatnya.

Wahai Kaum Muslim,

Kami menyerukan kepada seluruh kaum Muslim, baik para ulama, cendekiawan, para pemimpin ormas Islam, politisi Muslim, budayawan Muslim, hartawan Muslim, wartawan Muslim, hakim Muslim, jaksa Muslim, dosen Muslim maupun mahasiswa Muslim, waspadalah dengan makar orang-orang yang ingin menggerogoti wilayah kita, dengan menciptakan disintegrasi di negeri kita. Bersatulah menghadapi makar itu dan berjuanglah untuk menyatukan negeri ini dan mempertahankan keutuhannya. Allah SWT mewajibkan kita untuk mempertahankan keutuhan wilayah negeri Islam, termasuk Indonesia, dan menyatukan seluruh negeri-negeri Islam yang lainnya. Kita harus terus mempertahankan keutuhan negeri Muslim yang ada, seraya berupaya menggabungkannya satu sama lain. Kita sadar, disintegrasi hanya akan semakin memperlemah Islam dan umatnya, yang menyebabkan langgengnya kezaliman. Kelemahan itulah yang diinginkan oleh negara imperialis Kafir. Pihak imperialis terus berupaya mengerat-erat negeri Muslim. Indonesia yang merupakan negara besar, kini tengah berusaha dipecah-belah.

Kami juga menyerukan kepada para jenderal dan prajurit Muslim serta para polisi Muslim. Bangkitlah dengan kekuatan yang saudara miliki untuk menjaga setiap jengkal negeri ini agar tidak lepas dari tangan kekuasaan kita. Janganlah negeri ini diserahkan kepada musuh-musuh kita, yang siang dan malam terus melakukan konspirasi untuk memisahkan wilayah negeri ini. Karena itu, jagalah perbatasan wilayah negeri kita ini dengan niatan yang ikhlas, semata karena Allah, niscaya kita akan menang, sebagaimana Allah SWT berfirman:

Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah, dan kuatkanlah kesabaran kalian dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negeri kalian) dan bertakwalah kepada Allah supaya kalian beruntung. (TQS. Ali ‘Imran [3]: 200).

Kepada semua komponen umat Islam, baik sipil maupun militer, janganlah saudara memberi kesempatan kepada penguasa seperti dulu, ketika mereka melepaskan Timor Timur dari negeri ini. Ingatlah, bahwa segala keputusan dan sikap kita hari ini akan berdampak di masa depan, di dunia maupun di akhirat kelak. Telah tampak di mata kita, tangan-tangan asing dan keterpecahbelahan umat. Semua itu akibat kita tidak berpegang teguh pada tali Allah SWT yang kokoh, yaitu Islam.

Janganlah kita membiarkan diri kita semakin tercabik-cabik! Jagalah keutuhan kita! Pertahankan kesatuan yang masih ada. Berjuanglah terus bersama para pengemban dakwah, yaitu orang-orang yang memiliki kesadasaran politik yang sahih, yang berjuang untuk menjaga keutuhan wilayah negerinya semata-mata karena Allah SWT. Hanya dengan itu, keutuhan wilayah kita akan bisa terjaga, dan negeri ini akan terbebas dari belenggu penjajahan negara-negara Kafir imperialis itu.



Sumber: http://aditpunya.dagdigdug.com/2008/11/26/menjaga-keutuhan-wilayah-teritorial-indonesia-terhadap-skenario-penjajah/

Senin, 19 April 2010

Sejarah Sepak Bola

Sejarah Sepak Bola

Asal muasal sejarah munculnya olahraga sepak bola masih mengundang perdebatan. Beberapa dokumen menjelaskan bahwa sepak bola lahir sejak masa Romawi, sebagian lagi menjelaskan sepak bola berasal dari tiongkok. FIFA sebagai badan sepak bola dunia secara resmi menyatakan bahwa sepak bola lahir dari daratan Cina yaitu berawal dari permainan masyarakat Cina abad ke-2 sampai dengan ke-3 SM. Olah raga ini saat itu dikenal dengan sebutan “tsu chu “.

Dalam salah satu dokumen militer menyebutkan, pada tahun 206 SM, pada masa pemerintahan Dinasti Tsin dan Han, masyarakat Cina telah memainkan bola yang disebut tsu chu. Tsu sendiri artinya “menerjang bola dengan kaki”. sedangkan chu, berarti “bola dari kulit dan ada isinya”. Permainan bola saat itu menggunakan bola yang terbuat dari kulit binatang, dengan aturan menendang dan menggiring dan memasukkanya ke sebuah jaring yang dibentangkan diantara dua tiang.

Versi sejarah kuno tentang sepak bola yang lain datangnya dari negeri Jepang, sejak abad ke-8, masyarakat disana telah mengenal permainan bola. Masyarakat disana menyebutnya dengan: Kemari. Sedangkan bola yang dipergunakan adalah kulit kijang namun ditengahnya sudah lubang dan berisi udara.

Menurut Bill Muray, salah seorang sejarahwan sepak bola, dalam bukunya The World Game: A History of Soccer, permainan sepak bola sudah dikenal sejak awal Masehi. Pada saat itu, masyarakat Mesir Kuno sudah mengenal teknik membawa dan menendang bola yang terbuat dari buntalan kain linen.

Sisi sejarah yang lain adalah di Yunani Purba juga mengenal sebuah permainan yang disebut episcuro, tidak lain adalah permainan menggunakan bola. Bukti sejarah ini tergambar pada relief-relief museum yang melukiskan anak muda memegang bola dan memainkannya dengan pahanya.

Sejarah sepak bola modern dan telah mendapat pengakuan dari berbagai pihak, asal muasalnya dari Inggris, yang dimainkan pada pertengahan abad ke-19 pada sekolah-sekolah. Tahun 1857 beridiri klub sepak bola pertama di dunia, yaitu: Sheffield Football Club. Klub ini adalah asosiasi sekolah yang menekuni permainan sepak bola.

Pada tahun 1863, berdiri asosiasi sepak bola Inggris, yang bernama Football Association (FA). Badan ini yang mengeluarkan peraturan permainan sepak bola, sehingga sepak bola menjadi lebih teratur, terorganisir, dan enak untuk dinikmati penonton.

Selanjutnya tahun 1886 terbentuk lagi badan yang mengeluarkan peraturan sepak bola modern se dunia, yaitu: International Football Association Board (IFAB). IFAB dibentuk oleh FA Inggris dengan Scottish Football Association, Football Association of Wales, dan Irish Football Association di Manchester, Inggris.

Sejarah sepak bola semakin teruji hingga saat ini IFAB merupakan badan yang mengeluarkan berbagai peraturan pada permainan sepak bola, baik tentang teknik permainan, syarat dan tugas wasit, bahkan sampai transfer perpindahan pemain.


sumber:http://google.com

Realita Politik Indonesia

Realita Politik Indonesia

Barangkali kita sebagai bangsa perlu mengakui terlebih dahulu bahwa kita adalah bangsa yang kecil, pengecut, dan selalu berpikir pendek mengutamakan kepentingan pribadi/kelompok dari pada kepentingan nasional, bangsa apalagi negara. Setelah menyadari betapa cupetnya pikiran kita yang selalu inward looking dan betapa kacaunya kalkulasi strategis kita, barulah kita dapat sedikit menyadari...ingat hanya sedikit menyadari. Seperti inikah realita politik kita?

Mengapa Blog I-I menyentuh politik, tentunya dapat juga dipertanyakan dan jawabnya sangat sederhana, yakni setelah hampir 12 tahun genap reformasi satu-satunya keraguan yang membayangi masa depan Indonesia adalah proses pergantian pemimpin nasional, dimana seluruh bangsa Indonesia mengharapkan lahirnya pemimpin yang berkualitas, jujur, berani dan pandai mengelola negara serta mampu mensejahterakan rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke.

salah satu agenda strategis blog I-I adalah mendorong lahirnya kesadaran massa bangsa Indonsia untuk secara serius memikirkan masa depan Indonesia melalui penyusunan rencana di masing-masing bidang serta berusaha kuat untuk mengimplementasikannya. Pada saat yang bersamaan kesadaran massal tersebut membuka mata hati kita untuk dapat mengutamakan prioritas bangsa dan negara dari pada kepentingan pribadi.


Tidak dapat dipungkiri bahwa kita sebagai bangsa masih bersifat/berkarakter feodal dan selalu memimpikan lahirnya Ratu Adil yang akan mampu menjawab dan menyelesaikan persoalan bangsa. Kita selalu bersandar pada orang lain, pada pemimpin, pada pemerintah, pada pertolongan dari luar, bahkan kepada asing. Sangat bodoh bukan? Sesungguhnya kita harus memulai perbaikan dibidang apapun dari diri sendiri, mulailah mengandalkan diri sendiri dalam membawa perubahan yang lebih baik. Namun hal itu tidak berarti membesarkan ego masing-masing, melainkan membuka keberanian dan kepeloporan dalam membawa perubahan bangsa. Kebanyakan kita hanya mengikut di belakang bukan, bahkan sangat menyedihkan bila kita menyaksikan pimpinan kita-pun ternyata memiliki mentalitas yang demikian.

Saya sebagai pribadi telah mengawali satu langkah yang sangat kecil melalui Blog I-I, dan responnya bagi saya telah melampaui harapan saya pribadi. Meskipun demikian, wacana, artikel ataupun uneg-uneg dalam pikiran saya belum tentu kena di hati dan pikiran sahabat Blog I-I bukan? Malahan terdapat kecenderungan Blog I-I meningkatkan minat generasi muda Indonesia untuk bergabung dengan dunia intelijen Indonesia. Silahkan saja kepada siapapun warga negara Indonesia untuk mengabdi di bidang intelijen, namun sebagaimana kerahasiaannya tantangannya adalah menemukan jalan menuju dunia intelijen. Blog I-I sejak awal sudah mengumumkan bahwa tidak ada rekrutmen melalui Blog I-I, serta secara singkat dapat saya sarankan untuk mencarinya ke TNI yang memiliki BAIS, Polri yang memiliki sejumlah unit intelijen seperti Densus 88, Baintelkam, dll, ke Lembaga Sandi Negara, ataupun ke BIN yang merupakan Badan Intelijen Tertinggi di Indonesia.

Di luar antusiasme sebagian generasi muda yang rajin mengunjungi Blog I-I, ingin saya sampaikan sekali lagi bahwa mengabdi untuk bangsa dan negara Indonesia tidaklah harus di bidang intelijen. Melainkan di berbagai bidang dan apabila ada hal-hal yang sangat penting dan membahayakan negara dapat menginformasikan kepada Komunitas Intelijen, khususnya Polsisi dan BIN atau bahkan melalui Blog I-I untuk disampaikan kepada yang berwenang.

Tidak ada seorangpun yang dapat membawa perubahan Indonesia sendirian, siapapun kita bagian dari elemen bangsa Indonesia perlu bersinergi dan menyatukan kekuatan untuk membangun Indonesia yang sejahtera modern dan bermoral.

Sadarkah pemerintah Indonesia bahwa masih sangat banyak pekerjaan rumah dan persoalan yang menyebabkan langkah kemajuan Indonesia Raya terhambat di sana-sini. Kita tidak perlu menyalahkan orang lain, tetapi mulailah melihat kepada diri kita sendiri, kepada peranan dan sumbangan yang telah kita berikan untuk bangsa Indonesia.

Realita Politik Indonesia adalah saling menghancurkan seperti legenda kutukan Mpu Gandring kepada Ken Anggrok dan keturunannya. Kisah kehancuran para pemimpin kita dimasa lalu dan era Indonesia modern seharusnya dapat menyadarkan kita dan mendorong kita untuk tidak mengulanginya. Namun kita memang bangsa pelupa dan senang mengulangi kesalahan yang sama.

Menjadi pemimpin yang bijaksana tidak identik dengan kemampuan menyenangkan seluruh elemen dalam negara, ada kalanya pemimpin itu harus berani menghilangkan penyakit-penyakit dalam elemen negara, bukannya malahan menambah kacau sistem tata negara dengan membagi-bagi kekuasaan kepada orang-orang yang kurang terseleksi, perhatikan bagaimana kualitas para Menteri dan Wakil Menteri yang sekarang ada, Blog I-I menilai hanya 45% yang benar-benar baik selebihnya meragukan karena mereka dipilih secara mendadak dan bukan dipersiapkan jauh-jauh hari dengan penyusunan rencana dan program yang matang untuk sebuah negara sebesar Indonesia. Sungguh Blog I-I sangat sedih dengan kenyataan politik Indonesia saat ini. Beberapa sahabat Blog I-I membantah hal itu dan menyampaikan bahwa Birokrat dapat mendukung siapapun pemimpinnya, namun sadarkah kita bahwa Birokrat sekarang adalah masih sisa-sisa yang bermentalitas pengecut karena puluhan tahun dalam represi sistem orde baru dengan tingkat gaji yang sangat rendah sehingga cenderung korup dan kurang memiliki jiwa kepemimpinan.

Sebagian lagi sahabat blog I-I menyampaikan optimisitas bahwa telah lahir generasi Ratu Adil menyongsong kejayaan Indonesia Raya pada era 2050, namun saya pesimis apabila prosesnya tidak kunjung kelihatan, lihat saja bagaimana cara kita mendidik anak-anak kita di sekolah. Pendidikan anti diskriminasi yang merupakan masalah dari perbedaan ras-etnis belum menjadi hal yang utama, kita dipaksa untuk memahami Bhinneka Tunggal Ika, namun tidak diajarkan dari kecil untuk menyayangi dan saling menghormati walaupun kita berbeda etnis suku bangsa. Perhatikan bagaimana sakitnya hati saudara kita orang Papua yang mengalami perlakukan diskriminasi rasial secara laten yang ada di dalam hati suku yang berwarna kulit lebih terang. Menyedihkan bukan ?

Bagaimana caranya? semua berawal dari pribadi kita masing-masing dan dari sekolah dari pendidikan dan dari pembangunan sistem sosial ekonomi dan budaya Indonesia yang merangkul dan meramu perbedaan diantara kita menjadi kekuatan multikultural untuk kemajuan Indonesia Raya.

Siapa yang bertanggung jawab, tentu saja pemerintah bersama seluruh aparaturnya, dan dalam alam demokrasi ini inisiatif elemen bangsa dalam bentuk lembaga swadaya maupun individual akan sangat menolong percepatan kemajuan tersebut.